Potret Kelam Penjarahan Pusaka Dieng Dan Candi Arjuna
kita masih di
Indonesia, tepatnya di Banjarnegara, Jawa Tengah Dan candi-candi ini dibangun
kira-kira bersamaan saat wabah cacar melanda Jepang dan memusnahkan sepertiga
populasinya.
Yuk kita bahas
selengkapnya! Ketika Eropa larut dalam perang Napoleon yang dimulai tahun 1799,
Belanda yang berada di kubu Prancis menghadapi gempuran Inggris.
Koloni-koloninya, termasuk nusantara, direbut oleh armada
laut Inggris. Thomas Stamford Raffles (1781-1826) pun ditunjuk menjadi Letnan
Gubernur atas Hindia Belanda.
Inilah salah satu momen penting bagi arkeologi Jawa
ketika
candi-candinya dicatat secara sistematis oleh Raffles. Catatan Thomas Horsfield
(1773-1859), seorang naturalis Amerika, yang menyebutkan adanya tangga kuno di
Dataran Tinggi Dieng, mendorong Raffles yang sangat berminat pada budaya Jawa,
untuk mengirim tentara guna menyurvei pegunungan tersebut.
Cornelius, sang
tentara, melaporkan adanya candi-candi yang runtuh dan tertimbun tanah
vulkanis. Laporan ini melengkapi data History of Java, ketika Raffles
menceritakan sebuah peradaban agung dengan hampir 400 candi yang runtuh di
dataran tinggi Dieng Artinya, jika catatan Raffles benar, jumlah candi di
kompleks percandian Dieng hampir dua kali lipatnya kompleks Candi Sewu maupun
Prambanan.
Itu belum termasuk ribuan arca batu maupun logam mulia,
artefak, hingga berbagai harta benda. Namun, benarkah aslinya sefantastasis
cerita Raffles?
Namun totalnya hanya 9 candi. Nah, pertanyaan besarnya,
lantas ke mana 400 candi yang diceritakan Raffles dalam History of Java?
Terus ikuti, ya teman-teman, karena kita akan menyelidiki
hilangnya 400 candi yang pernah disaksikan Raffles di Dieng, Termasuk ribuan
arca batu dan logam mulia, artefak, dan harta benda lainnya.
Candi Arjuna
adalah
salah satu candi terawal yang dibangun di dekat Sungai Tulis, sesuai pedoman
kitab Vastusastra dari India, yang menjadi pegangan para pembangun candi.
Fondasi candi ini rendah karena dibangun di atas dataran kering.
Namun, belakangan, luapan air dari Danau Balekambang
membanjiri candi. Leluhur kita pun membuat terobosan brilian dengan membangun
gorong-gorong bawah tanah, yang saat ini bernama Gangsiran Aswatama, untuk
mengalirkan air ke dataran yang lebih rendah. Dataran Arjuna kering kembali,
dan untuk berjaga-jaga, candi-candi selanjutnya diberi fondasi yang lebih
tinggi.
Meruyaklah percandian
di kawasan ini, hingga mencapai hampir 400 buah, sesuai catatan Raffles, dan
menjadikan kompleks percandian Dieng hampir dua kali lipat Prambanan.
Namun terjadilah bencana vulkanis yang meruntuhkan peradaban
ini. Dieng pun ditinggalkan, dan seiring tergerusnya pengaruh Hindu-Buddha,
candi-candinya menjadi terlupakan.
Gorong-gorongnya tersumbat, dan air kembali merendam
sebagian kawasan candi. Pada tahun 1814, Cornelius melaporkan adanya puluhan
candi yang terendam danau, suatu laporan yang diperkuat kesaksian naturalis
Junghuhn 24 tahun kemudian. Dan pada tahun 1817, History of Java mencatat
adanya hampir 400 reruntuhan candi di Dieng.
Namun, Raffles juga menyaksikan bagaimana penduduk zaman itu telah menjadikan batu-batu candi sebagai rumah, pagar, jembatan dan lain sebagainya.
Menurut Raffles, dibanding Candi Prambanan, batu-batu candi Dieng
relatif kecil dan berukuran sama sehingga lebih mudah diangkut. Penjarahan
besar-besaran oleh bumiputra juga terekam dalam beberapa catatan lain pada era
yang sama.
39 tahun setelah History of Java ditulis, Kinsbergen,
seorang fotografer Belanda yang menemukan kembali gorong-gorong kuno Dieng,
memutuskan menguras danau yang dimaksud Junghuhn.
Dan hasilnya, candi-candi Dieng yang terendam mulai
tertampakkan kembali. Pencapaian akbar ini, sayangnya, menuai efek samping yang
merugikan bangsa kita hingga hari ini. J.F Scheltema, dalam Monumental Java
(1912), menceritakan pengalamannya ketika berada di Dieng: Di sebuah
penginapan, seorang bumiputra mendekati Scheltema dan menawarkan artefak dari
Dieng, yakni sebuah patung emas seukuran telapak tangan orang dewasa. Penjual
itu mengaku mendapatkannya dengan harga 7 gulden.
Inilah potret menyedihkan percandian Dieng
pasca pengeringan danau oleh Kinsbergen. Jumlah
tinggalan yang spektakuler di Dieng menjadikannya ladang perburuan artefak dan
bahkan rebutan tiga kadipaten.
Menurut notulensi Hindia Belanda, di awal pembersihan Dieng,
seorang adipati dari Purworejo menutup jalan dan meminta para pekerja mogok
jika Dieng tidak dimasukkan ke wilayahnya. Di tataran rakyat, batu-batu candi
dijarah untuk bahan membangun rumah, sedangkan arca dan artefaknya
diperjualbelikan.
Prasasti bisa muncul
di halaman rumah rakyat dan raib keesokan harinya. Sebenarnya pemerintah Hindia
Belanda telah menghimbau rakyat agar artefak yang ditemukan di reruntuhan candi
Dieng diserahkan kepada pemerintah.
Namun, karena kompensasinya terlalu rendah, rakyat pun
menjualnya kepada penadah. Melalui jalur inilah, menurut catatan Scheltema,
arca dan artefak Dieng mengalir deras ke tangan penadah serta menyebar ke
berbagai museum dunia maupun koleksi pribadi.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan pesta penjarahan ini
makin tak terkendali. Menurut penggiat sejarah Ancah Yosi Cahyono, faktor
pertama adalah kurangnya pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda akibat
lokasi Dataran Tinggi Dieng yang terpencil.
Selanjutnya adalah faktor ekonomi, yang mendorong sebagian
rakyat kala itu untuk menjarah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan tentu
saja, hukum supply and demand berlaku, rakyat menjarah ketika ada permintaan
dari luar.
Faktor ketiga adalah
mentalitas korupsi. Ketika pemerintah Hindia Belanda berupaya melakukan
penyelamatan dengan mendirikan pasanggrahan yang menampung sisa-sisa
peninggalan, penjaga yang ditugaskan di sana diam-diam malah menjadikannya
galeri penjualan artefak.
Semua insiden ini
tercatat dalam laporan para saksi mata, yakni Brummund (1855), Hoepermans
(1867), dan N.J.Krom (1923). Nah, selain tiga faktor tersebut, menurut saya ada
satu lagi faktor yang tidak bisa kita abaikan, yakni keterputusan budaya, Yang
menyebabkan sebagian warga kala itu menjadi tidak peduli dan mudah menjarah
candi.
Hal ini terlihat dari penamaan candi-candi Dieng, yang sejak
zaman pemerintah Hindia Belanda pun telah menggunakan nama-nama wayang kulit.
Dan itu pun bukan wayang zaman Jawa Kuno, karena tokoh
punakawan seperti Petruk dan Gareng, yang digunakan untuk nama candi di
kompleks Gatotkaca, baru muncul dalam kisah pewayangan selepas era Majapahit.
Sehingga, bisa dibilang, rakyat kala itu sudah tidak
familiar lagi dengan budaya yang melatari berdirinya candi-candi Dieng.
Nah, terlepas dari apa pun yang menjadi latar penjarahan
itu, Percandian Dieng tidak layak diperlakukan demikian.
Karena dataran tinggi ini adalah rahim yang melahirkan
peradaban candi-candi di Jawa.
Dieng, negeri para dewa
tidak hanya menyuguhkan karya budaya yang memukau, tetapi juga potret
kelam penjarahan candi terparah yang dilakukan bumiputra di nusantara.
Seandainya 400 candi
yang disaksikan Raffles itu masih ada, Ditambah panorama alam Dieng yang begitu
memukau, Saya tak akan heran bila kompleks candi Dieng menjadi jauh lebih
terkenal dari Borobudur, Prambanan, atau bahkan Angkor Wat.
Dan mungkin saja, yang menjadi jantung pariwisata Jawa hari
ini bukanlah Jogja, melainkan Dataran Tinggi Dieng.
Karena ia akan menjadi surga budaya yang sulit ditandingi
negara mana pun, seandainya 400 candi itu masih ada. Maka, tentu saja,
penjarahan candi-candi Dieng di masa lampau adalah sebuah kehilangan besar bagi
bangsa kita, Dan juga bagi warga sekitar yang kini mewarisinya.
Namun, apa yang telah hilang, tak perlu lagi kita ratapi.
Karena yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga yang masih tersisa, dengan
sebaik-baiknya Agar keluhuran budaya ini dapat terus disaksikan anak-cucu kita,
Serta mengalirkan berkah bagi kehidupan warga di sekitarnya.
Sekian,semoga bermanfaat dan terima kasih.